Thursday, May 30, 2013

terperangkap di deras hujan

terperangkap di deras hujan

Cerpen Djho Izmail

HUJAN
terus mengguyur tanpa henti. Sudah sejam lebih aku hanya bisa berdiri di pojok emperan Toko. Banyak orang bersamaku tanpa aku kenal. Seseorang tersenyum padaku sambil berdiri di sampingku. Aku cuma tersenyum. membalas padanya tanpa memberi sedikit ruang baginya, bagi orang asing yang baru mampir tersebut.

Dalam otakku berkecamuk berbagai macam pikiran. Aku takut bila sore nanti aku tidak bisa mengikuti kuliah, padahal sudah dua kali aku tidak masuk. Bila kali ini tidak masuk lagi berarti aku harus siap-siap untuk program ulang tahun depan. Seseorang menyenggol pundakku, aku tersentak. Kulihat ke samping kiri. Orang itu lagi, dalam hatiku membatin. Ia kemudian tersenyum lagi dan meminta maaf padaku. Aku cuma menganggukan kepala. Tanpa berkata apa-apa. Aku seakan kehabisan kata-kata.

Hujan mulai tercurah satu-satu, pertanda sudah reda. Orang-orang yang mampir di emperan toko tadi perlahan minggat satu persatu. Aku kemudian bergegas sambil tersenyum. Dalam hatiku seolah berteriak. Pekikan kemenangan karena sebuah dompet telah kudapati. cukup tebal. Andaikan isinya melebihi lima ratus ribu, pasti tunggakan uang kostku tiga bulan terakhir terlunaskan, pikirku. Dengan gesit aku menumpangi bemo yang berhenti tepat di depanku.

Ternyata perkuliahan sore ini ditunda. Aku jadi sedikit marah dengan sikap dosen yang otoriter. Dia pikir cuma dia saja yang punya rutinitas. Alasan tak masuk akal, sibuk. Padahal kita sebagai mahasiswa harus pandai-pandai menggunakan waktu, karena tidak semua yang kita rencanakan berjalan mulus sesuai yang diharapkan. Teman-teman yang mendengar cuma bisa tersenyum sinis padaku.

Mungkin mahasiswa sekarang yang tidak punya lagi idealisme sehingga mereka cuma menuruti saja seperti kerbau yang dicocok hidungnya. Atau aku yang berlebihan dan cuma omong di belakang-belakang. Entahlah.

Di kamar ukuran tiga kali dua setengah meter  aku seakan pusing. Dompetku tidak kutemukan. Aku kemudian mengingat-ingat kembali kapan dan di mana tempat terakhir aku meletakannya. Aku masih ingat betul ketika pagi tadi sebelum ke perpustakaan aku meletakannya di dalam tasku. Rasanya tidak mungkin jatuh di jalan. Memang di dalam dompet tersebut cuma ada uang dua puluh ribu rupiah, tetapi bagaimana dengan kartu mahasiswa dan KTP serta kartu ATM yang ada di dalamnya?? Kepalaku seakan mau pecah. Aku sangat pusing dengan hal tersebut.

Aku kemudian mengambil dompet yang baru kau copet tadi. Kubuka dompet tersebut. Ternyata isinya di luar dugaanku. dua puluh lembar uang seratus ribu dan sepuluh lembar uang lima puluh ribu serta sebuah KTP. Aku tercengang. Memang selama ini aku sering mencopet bahkan sering mencuri barang-barang di swalayan di belokan pertama dekat kostku, tapi hasilnya paling tinggi dua ratus ribu rupiah.

Aku terus menatap KTP yang ada di tanganku. Milik seorang cewek. Cewek yang tadi siang berdiri di samping kiriku. Dalam hati kecilku aku merasa sangat bersalah. Mungkin dia sekarang sangat pusing mencari dompetnya. Orang tuanya pasti marah besar bila mengetahui hal tersebut. Aku kembali menghitung uang dan melihat foto yang ada di KTP tersebut. Rasanya tidak tega melakukan hal ini. Aku heran dengan diriku sendiri. Baru kali ini aku sadar akan perbuatanku. Padahal selama ini aku seolah merasa paling bahagia. Serasa telah memenangi perhelatan akbar seratus tahun sekali dengan hadiah triliunan rupiah.

Kuteliti kembali isi dompet tersebut. Aku menemukan secarik kertas yang menuliskan sebuah nomor handphone. Dengan sigap aku menekan tombol-tombol handphone-ku lalu meletakan di telingaku. Suara 'miss cerewet' mengingatkanku bahwa pulsa dalam kartu prabayarku tidak mencukupi untuk melakukan panggilan bahkan untuk sebuah pesan singkat. Aku sedikit berpikir kemudian mengambil selembar uang lima puluh ribu, untuk mengisi pulsa.

Dari sebrang suara lembut menyapaku dengan manisnya. Aku kemudian menceritakan tentang dompet yang aku temukan di emperan toko kepadanya. Padahal sesungguhnya dompet tersebut aku copet dari dalam tasnya. Ia sangat berterima kasih kepadaku karena telah menemukan dompetnya.

Sore yang sedikit mendung. Aku duduk di atas bangku taman kota. Aku telah berjanji dengannya malam kemarin untuk mengembalikan dompetnya di sini. Di taman kota ini. Setelah sepuluh menit menunggu cewek itu datang. "Maaf membuatmu lama menunggu" katanya sopan sambil menyodorkan tangannya. "Nining" lanjutnya lagi setelah aku menyalaminya. "Hakim" kataku singkat, lalu mempersilakan dia duduk di samping kiriku.

Kamipun bercerita tentang kehidupan masing-masing, setelah aku mengembalikan dompetnya. Tidak lupa aku mengatakan tentang uangnya yang berkurang, untuk mengisi pulsaku. Ia sangat berterima kasih kepadaku. Katanya bila dompet tersebut tidak di temukan, tentu ia tidak akan ke Kalimantan untuk menjenguk Ibunya yang sakit. Ia lalu menyodorkan selembar uang seratus ribu kepadaku, ketika hendak pamit pulang. Aku menolaknya dengan halus. Ia terus memaksa. Katanya aku tidak menghargai tanda ucapan terima kasihnya. Aku terus menolak, tapi akhirnya kuterima juga karena ia terus memaksa.

Sebulan telah berlalu dari kejadian tersebut. Dompetku yang hilang waktu itu  ternyata tidak hilang. Aku menemukan kembali dompetku dalam tas. Aku merasa seperti dibodohi oleh kelakuan sendiri. Tak masalah yang terpenting sekarang aku berusaha untuk berubah. Dan Aku bisa. Paling tidak untuk beberapa hari ini, kehidupanku seakan berubah. Aku tidak lagi melakukan pekerjaan tak halal tersebut. Suara handphone berdering, membuyarkan rasa ngantuk yang menggerogoti ragaku.

Aku mengangkatnya dengan tak bersemangat. Nining rupanya yang menelepon aku. Aku lupa menyimpan nomor handphonenya waktu itu. Ia mengajakku untuk bertemu dengannya di tempat pertama kali aku menunggunya suatu sore, ketika hendak mengembalikan dompetnya.

Di Taman yang kian ramai aku duduk tepat pada bangku yang pernah aku duduki
kira-kira sebulan yang lalu. Seekor kupu-kupu hinggap sebentar pada sekuntum bunga layu, lalu terbang. Mungkin ia merasa terusik dengan kehadiranku di situ. Pundakku ditepuk dari belakang. Aku kaget sambil berdiri. "Sudah lama??" tanya Nining sambil tertawa nyengir. Aku cuma menggelengkan kepalaku, sambil melirik arloji di pergelangan tangan kiriku. Padahal sebenarnya aku telah menunggunya tiga puluh lima menit yang lalu.

Seribu prasangka menumpuk di dalam isi kepalaku. Pelan-pelan dalam hati kecilku aku seakan mengagumi kecantikan wajahnya. Ia tersenyum kepadaku ketika menyadari lirikan matanya tertangkap ekor mataku. Aku berusaha tersenyum dengan sedikit dipaksakan. Aku seolah mematung ketika ia mulai bercerita.

"Hakim maafkan saya ya!! Saya tidak tahu harus mulai dari mana, tapi yang jelas setelah kamu mendengar cerita ini, saya harap kamu jangan marah terhadap saya. Karena ini merupakan perasaan saya dan belum seorangpun mengetahuinya. Karena memang saya belum berkata jujur pada siapa-siapa, kecuali pada kamu, saya hendak katakan"

"Ibumu sudah sembuh??" Aku mengalihkan pembicaraan.
"Sudah, maukah kamu mendengar sedikit curahan hati?" Ia kembali mengajakku mendengarkan ceritanya. Aku mengiyakan saja karena aku takut ia akan tersinggung. Ia mulai menceritakan tentang awal dia berada di kota ini. Tentang semua yang ia lakukan selama dua tahun terakhir di kota ini. Aku seolah tak percaya ketika ia mulai mengatakan lembaran kisah suramnya.

"Mungkin kamu tidak percaya dengan kisah saya ini, tetapi inilah saya. Kamu sadar tidak ketika kamu kehilangan dompet hari itu?? Aku cuma mengangguk lalu berkata iya. Mungkin kamu tidak mengira kalau sayalah orang yang mencopet dompet kamu di emperan toko itu." Aku terperanjat, mana mungkin wanita secantik dia melakukan hal tersebut. Aku menjadi gugup ketika ia mengatakan bahwa dirinya seorang pencopet, aku merasa seolah dia telah mengetahui semua kelakuanku. Seolah dia telah mengetahui semua perilaku busukku selama ini.

Menjadi seorang pencopet, tanpa diketahui oleh siapapun. Saya yang telah mencopet dompetmu dari dalam tasmu dan menaruhnya kembali ketika kita berada di taman kota sore itu. Saya harap kamu mau memaafkan saya." Aku tergagap, dalam hati aku berpikir: andai dia tahu kelakuan aku selama ini, mungkin dia tidak akan menceritakan kehidupannya yang suram. *

*) Djho Izmail adalah nama pena dari Yohakim Dawi. Bergiat di Komunitas Sastra Dusun Flobamora. Menetap di Kupang, sambil ikut mengelolah Jurnal Sastra SANTARANG.



-----------------------------------------------------------------------------
Pengiriman puisi dan cerpen untuk dimuat pada halaman Imajinasi Pos Kupang melalui alamat  email ini: imajinasiruang@ymail.com
------------------------------------------------------------------------------

Editor : alfred_dama
Sumber : Pos Kupang

No comments:

Post a Comment